PARIWARA



Tampilkan postingan dengan label pendekatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendekatan. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Juli 2013

PARTICIPATORY ACTION RESEARCH (PAR)

Secara etimologi kata partisipasi berasal dari Participatie (Belanda) dan Participation (Inggris) yang artinya ikut serta. (Sukamto dalam Purwisanti, 1991). Secara terminologi partisipasi adalah keterikatan seseorang dalam suatu proses kegiatan secara sukarela dan atas kemauannya tanpa unsur paksaan (Yadav dalam Purwisanti, 1991). Tjokroamidjojo dalam Purwisanti (1991), menyatakan bahwa partisipasi merupakan indikator keberhasilan terpenting sekaligus menjadi tujuan dari suatu program pembangunan. Upaya partisipasi ini dimaksudkan untuk mengubah pola pikir, pola sikap dan pola tindak ke arah yang lebih baik, dan dilakukan melalui pendidikan non formal melalui pendidikan orang dewasa. 

Participatory Action Research (PAR) atau Penelitian Aksi Partisipatif (PAP) lebih merupakan pendekatan para aktivis, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk memperkuat komunitas lokal atau yang diwakilinya dengan cara melibatkan sekaligus mendorong masyarakat atau perorangan mengenali potensi dan permasalahan yang ada di desa, komunitas atau usaha mereka, sehingga masyarakat, kelompok atau perorangan tersebut berinisiatif untuk melakukan tindakan penyelesaian masalahnya sendiri. PAR muncul sebagai reaksi kesadaran dari kegagalan pembangunan top down, dipopulerkan terutama oleh Conway dan Chambers (1992), dan yang terbaru oleh Korten (1996). Yang membedakan antara action research (penelitian aksi) dengan penelitian konvensional adalah adanya keterlibatan dari objek penelitian secara aktif dan secara sengaja dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian konvensional objek penelitian hanya dijadikan penonton yang netral (Chalmers dalamBasuno, 2005). Menurut Sembiring (2007), PAR mempunyai beberapa nama, antara lain Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Rapid Rural Appraisal (PRRA), Participatory Learning Method (PALM), Integrated Action Planning (IAP), Paticipatory Learning and Action (PLA), dan masih banyak lagi istilah yang lainnya. 

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam PAR adalah: (1) Keberpihakan kepada pihak atau individu yang terabaikan, (2) Pemberdayaan (penguatan) kemampuan masyarakat untuk bisa melakukan sendiri, (3) Masyarakat sebagai pelaku dan yang akan memutuskan segala sesuatunya, sedangkan orang luar hanya sebagai fasilitator, (4) Saling belajar (transactive) antara masyarakat dan fasilitator, (5) Informalitas, (6) Triangulasi (check and re-check) untuk kefalidan informasi, (7) Optimalisasi hasil, (8) Keberlanjutan dan selang waktu untuk melihat perkembangan suatu masalah, (9) Orientasi Praktis, selalu diarahkan untuk melakukan kegiatan bukan research for next research, (10) Belajar dari kesalahan untuk selalu melakukan perbaikan, (11) Terbuka, tak pernah selesai mutlak, tidak selalu 100 persen benar (Sembiring, 2007).

Sebagai suatu metode penelitian, dalam PAR harus melakukan dua hal yaitu mengamati apa yang dilakukan orang lain terhadap objek penelitian, dan di saat yang sama harus mencari tahu bagaimana solusi yang ada dan bisa dilakukan secara bersama-sama antara peneliti dengan masyarakat. PAR menawarkan pendekatan penelitian dan aksi yang terstruktur yang dapat mendorong para pihak mengambil pelajaran dan pengalaman melalui siklus observasi-perencanaan-aksi-fefleksi (CIFOR, YGB, PSHK-ODA, 2006). Pelaksanaan penelitian melalui proses PAR berlangsung berulang-ulang (spiral) dan bertahap yang masing-masing terdiri dari perencanaan, aksi dan evaluasi hasil dari aksi tersebut. Setiap penelitian aksi yang dilakukan dengan permasalahan yang berbeda, maka akan berbeda pula proses penelitian yang dilakukan pada penelitian tersebut dalam rangka mencapai tujuan penelitian. 

Sumber: http://repository.ipb.ac.id

Selasa, 25 Agustus 2009

PENGEMBANGAN POTENSI PERTANIAN LAHAN KERING


Pengembangan pertanian lahan kering menggunakan pendekatan agribisnis, berarti para perencana pengembang pertanian lahan kering harus berpikir secara kesisteman. Artinya, agar berhasil mengembangkan pertanian lahan kering termasuk di dalamnya berhasil meningkatkan pendapatan petani, maka para perencana tidak hanya memikirkan pengembangan subsistem usahatani atau produksi saja, tetapi juga memikirkan pengembangan subsistem-subsistem lainnya yang menunjang keberhasilan subsistem usahatani tersebut.

Oleh karena itu, para perencana harus memikirkan pengembangan keempat subsistem agribisnis secara simultan dan terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir dan secara horizontal antara berbagai sektor, sehingga akan mampu menciptakan profit yang layak bagi petani di lahan kering. Paradigma baru ini berbeda nyata dengan paradigma lama pembangunan pertanian yang terbatas pada pembangunan subsistem produksi atau usahatani, yang hanya berorientasi pada peningkatan produksi.

Secara umum, tahapan pengembangan pertanian lahan kering dengan pendekatan agribisnis adalah sebagai berikut:
1. Lakukan evaluasi potensi wilayah, al.: kondisi fisik dan kesuburun lahan, kondisi agroekosistem, dll.;
2. Identifikasi jenis tanaman dan ternak yang telah ada dan baru yang cocok dikembangkan di wilayah tersebut dan bagaimana sistem irigasinya, apakah irigasi sumur bor dengan sistem perpipaan atau irigasi tetes (drip irrigation) atau hanya mengandalkan tadah hujan;
3. Adakah tersedia sarana produksi dan teknologi, seperti benih, pupuk, pakan, pestisida, alat dan mesin (alsintan), obat-obatan yang dibutuhkan jika mengusahakan tanaman dan ternak pada buutir 2. JIia tersedia apakah terjangkau oleh petani setempat ?;
4. Bagaimana dengan pasca panennya. Apakah teknologinya dikuasai atau belum. Jika belum perlu dicari tahu teknologi pasca panennya;
5. Apakah mungkin kelak produksinya diolah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi. Jika mungkin bagaimana dengan penguasaan teknologinya. Jika belum dikuasai perlu dicari tahu tentang teknologi pengolahannya;
6. Kemana kelak produksinya dipasarkan, apakah pasar lokal, antar pulau, atau ekspor;
7. Masih adakah peluang pasar dan jika ada siapa target pasarnya (masyarakat umum, wisatawan) atau kelas bawah, menengah atau kelas atas;
8. Adakah strategi pemasaran untuk memenangkan persaingan terhadap competitor produk sejenis;
9. Tersediakah prasarana penunjang, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, terminal, alat transportasi yang melancarkan pengaliran produk dari petani ke pasar atau konsumen;
10. Adakah kelembagaan penunjang, seperti lembaga perkreditan, lembaga penyuluhan, kelompok tani, lembaga penelitian, peraturan/kebijakan pemerintah yang kondusif, koperasi, dll.;
11. The last but not least, bersediakah petani diajak melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya lahan kering yang dimilikinya. Jika tidak atau belum tersedia, lakukan proses penyadaran secara terus-menerus pentingnya melakukan inovasi demi meningkatkan produktivitas dan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Di sini proses penyuluhan memegang peranan penting. Belajarlah dari sukses swasembada beras selama pemerintahan Orde Baru, yang mampu merubah sikap mental petani padi menjadi innovation minded.

Dalam tahap perencanaan pengembangan, pertanyaan-pertanyaan di atas harus dicari jawabannya dan jika sudah terjawab, maka lakukanlah implementasi dari rencana tersebut dengan langkah-langkah seperti tersebut di atas.

Dengan tahapan dan mekanisme seperti itu, maka pengembangan pertanian lahan kering dengan pendekatan agribisnis akan mampu mengintegrasikan perekonomian wilayah, baik antar wilayah maupun antara sektor pertanian dengan sektor industri/agroindustri, sektor pertanian dengan sektor jasa, dan sektor industri dengan sektor jasa penunjang. Selain itu, melalui mekanisme pasar, pengembangan pertanian lahan kering dengan pendekatan agribisnis akan mampu memperkecil pelarian sumberdaya manusia dan pelarian modal, bahkan potensial mendorong terjadinya penarikan kembali sumberdaya manusia dan kapital dari wilayah lain.

Agar proses demikian terjadi, maka komoditi yang dikembangkan hendaknya merupakan komoditi/produk yang bersifat memiliki elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi (income elastic demand), seperti komoditi peternakan dan hortikultura. Konsumsi peternakan (daging dan susu) dan hortikultura meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat.

Tampaknya untuk lahan kering sangat potensial dikembangkan komoditi hortikultura dan peternakan. Masih ingatkah kejayaan jeruk keprok di Buleleng Timur, secara luar biasa mampu meningkatkan kemakmuran masyarakat di wilayah ini. Dengan demikian seiring bertumbuhnya
ekonomi Bali Selatan atau Propinsi-Propinsi di Jawa, maka akan meningkatkan permintaan komoditi peternakan dan hortikultura dan akhirnya akan membangkitkan aktivitas ekonomi masyarakat.

Kemudian untuk menjamin peningkatan pendapatan masyarakat yang umumnya adalah petani lahan kering, maka para petani perlu didorong dan difasilitasi untuk mengembangkan koperasi agribisnis. Di masa lalu, aktivitas ekonomi petani kita hanya terbatas pada usahatani saja, yang justru paling kecil nilai tambahnya dibandingkan dengan nilai tambah agribisnis hulu dan hilir. Dengan mengembangkan koperasi agribisnis secara vertikal, maka petani akan dapat menangkap nilai tambah yang ada pada subsistem agribisnis tersebut atau dengan kata lain nilai tambah tidak jatuh ke luar wilayah. Dengan demikian, pendapatan petani akan dapat ditingkatkan dan mengejar ketertinggalan dari wilayah lain.

Lembaga penunjang berwujud organisasi seperti perbankan atau lembaga keuangan diperlukan sebagai penyedia pembiayaan kegiatan usaha agribisnis, baik pada susbsistem produksi, subsistem agroindustri maupun pada subsistem pemasaran. Lembaga penelitian yang menghasilkan inovasi dan paket-paket teknologi untuk menunjang subsistem produksi. Lembaga penyuluhan diperlukan untuk menginformasikan hasil-hasil penelitian dari lembaga penelitian, teknologi baru, perkembangan harga pasar berbagai produk agribisnis. Jadi keberadaan lembaga-lembaga penunjang sangat vital dalam menunjuang keberhasilan pengembangan lahan kering menggunakan pendekatan agribisnis.

Pemerintah sebagai organisasi negara yang memiliki tanggung jawab besar memajukan agribisnis, dapat berperan dalam menciptakan, mengadakan, memantapkan atau memberdayakan subsistem kelembagaan, baik lembaga penunjang sarana dan prasarana maupun lembaga organisasi. Pemerintah bertanggung jawab membangun dan nyediakan sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi. Pemerintah dapat membangun dan memberdayakan lembaga penelitian yang menunjang pengembangan agribisnis, memberdayakan perbankan agar menaruh kepedulian terhadap kebutuhan permodalan para pelaku agribisnis dan menciptakan peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan dalam bentuk Kepres, Kepmen, Kepgub, Kepbup yang bersifat kondusif terciptanya iklim investasi dan produktif mendukung pengembangan agribisnis. Oleh karena itu, pemerintah mestinya bukan menjadi aktor agribisnis, tetapi menjadi promotor, fasilitator dan regulator pengembangan agribisnis.

Bila peran pemerintah sebagai fasilitator dan promotor dapat dijalankan dengan sungguh-sunguh dan konkrit, pengembangan agribisnis akan dapat berjalan lebih cepat dan pendapatan pelaku agribisnis, seperti petani lahan kering akan dapat ditingkatkan.

KLIK IKLAN BERHADIAH DOLLAR