Secara etimologi kata partisipasi berasal dari Participatie (Belanda) dan
Participation (Inggris) yang artinya ikut serta. (Sukamto dalam Purwisanti, 1991).
Secara terminologi partisipasi adalah keterikatan seseorang dalam suatu proses
kegiatan secara sukarela dan atas kemauannya tanpa unsur paksaan (Yadav dalam
Purwisanti, 1991).
Tjokroamidjojo dalam Purwisanti (1991), menyatakan bahwa partisipasi
merupakan indikator keberhasilan terpenting sekaligus menjadi tujuan dari suatu
program pembangunan. Upaya partisipasi ini dimaksudkan untuk mengubah pola
pikir, pola sikap dan pola tindak ke arah yang lebih baik, dan dilakukan melalui
pendidikan non formal melalui pendidikan orang dewasa.
Participatory Action Research (PAR) atau Penelitian Aksi Partisipatif
(PAP) lebih merupakan pendekatan para aktivis, yaitu metode penelitian yang
digunakan untuk memperkuat komunitas lokal atau yang diwakilinya dengan cara melibatkan sekaligus mendorong masyarakat atau perorangan mengenali potensi
dan permasalahan yang ada di desa, komunitas atau usaha mereka, sehingga
masyarakat, kelompok atau perorangan tersebut berinisiatif untuk melakukan
tindakan penyelesaian masalahnya sendiri. PAR muncul sebagai reaksi kesadaran
dari kegagalan pembangunan top down, dipopulerkan terutama oleh Conway dan
Chambers (1992), dan yang terbaru oleh Korten (1996).
Yang membedakan antara action research (penelitian aksi) dengan
penelitian konvensional adalah adanya keterlibatan dari objek penelitian secara
aktif dan secara sengaja dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian
konvensional objek penelitian hanya dijadikan penonton yang netral (Chalmers
dalamBasuno, 2005).
Menurut Sembiring (2007), PAR mempunyai beberapa nama, antara lain
Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Rapid Rural Appraisal
(PRRA), Participatory Learning Method (PALM), Integrated Action Planning
(IAP), Paticipatory Learning and Action (PLA), dan masih banyak lagi istilah
yang lainnya.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam PAR adalah: (1) Keberpihakan
kepada pihak atau individu yang terabaikan, (2) Pemberdayaan (penguatan)
kemampuan masyarakat untuk bisa melakukan sendiri, (3) Masyarakat sebagai
pelaku dan yang akan memutuskan segala sesuatunya, sedangkan orang luar
hanya sebagai fasilitator, (4) Saling belajar (transactive) antara masyarakat dan
fasilitator, (5) Informalitas, (6) Triangulasi (check and re-check) untuk kefalidan
informasi, (7) Optimalisasi hasil, (8) Keberlanjutan dan selang waktu untuk
melihat perkembangan suatu masalah, (9) Orientasi Praktis, selalu diarahkan
untuk melakukan kegiatan bukan research for next research, (10) Belajar dari
kesalahan untuk selalu melakukan perbaikan, (11) Terbuka, tak pernah selesai
mutlak, tidak selalu 100 persen benar (Sembiring, 2007).
Sebagai suatu metode penelitian, dalam PAR harus melakukan dua hal
yaitu mengamati apa yang dilakukan orang lain terhadap objek penelitian, dan
di saat yang sama harus mencari tahu bagaimana solusi yang ada dan bisa
dilakukan secara bersama-sama antara peneliti dengan masyarakat. PAR
menawarkan pendekatan penelitian dan aksi yang terstruktur yang dapat
mendorong para pihak mengambil pelajaran dan pengalaman melalui siklus
observasi-perencanaan-aksi-fefleksi (CIFOR, YGB, PSHK-ODA, 2006).
Pelaksanaan penelitian melalui proses PAR berlangsung berulang-ulang
(spiral) dan bertahap yang masing-masing terdiri dari perencanaan, aksi dan
evaluasi hasil dari aksi tersebut. Setiap penelitian aksi yang dilakukan dengan
permasalahan yang berbeda, maka akan berbeda pula proses penelitian yang
dilakukan pada penelitian tersebut dalam rangka mencapai tujuan penelitian.
Sumber: http://repository.ipb.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar