PARIWARA



Tampilkan postingan dengan label kebijakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebijakan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Februari 2011

DIMENSI KEMISKINAN

Penanganan masalah kemiskinan perlu difokuskan pada kemiskinan absolut daripada kemiskinan relatif (Khomsan 1999). Tujuan utama program pengentasan kemiskinan adalah mengembangkan kesetaraan posisi dan kemampuan masyarakat. Fokus penanganan masalah perlu didasarkan pada permasalahan pokok yang dihadapi masyarakat melalui pengembangan instrumen kebijakan yang relevan.

Dimensi kemiskinan secara intertemporal mengalami perubahan dengan mempertimbangkan aspek nonekonomi masyarakat miskin. Sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan perumahan), 2) aksesibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi), 3) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital, 4) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal, 5) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan sumber daya alam, 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, 7) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan, 8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental, dan 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan secara sosial.

Sumber : Tahlim Sudaryanto dan I Wayan Rusastra, 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian dalam Rangka Peningkatan Produksi dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian, 25(4), 2006.

Minggu, 30 Januari 2011

Perumusan Kebijakan Pembangunan Pertanian

Tahapan perumusan kebijakan pembangunan pertanian adalah sebagai berikut: 
a. Tahap Identifikasi
Identifikasi masalah dan kebutuhan: Tahap pertama dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian adalah mengumpul-kan data mengenai permasalahan pembangunan pertanian yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs).
Analisis masalah dan kebutuhan: Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang terkena masalah?

Penginformasian rencana kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan pembangunan pertanian untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
Perumusan tujuan kebijakan: Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
Pemilihan model kebijakan. Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan pembangunan pertanian yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Penentuan indikator pembangunan pertanian: Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikator-indikator pembangunan pertanian yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
Membangun dukungan dan legitimasi publik: Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan pembangunan pertanian yang akan diterapkan. 

b. Tahap Implementasi
Perumusan kebijakan: Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan ke dalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
Perancangan dan implementasi program: Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program (program proposals) atau proyek pembangunan pertanian untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program. 

c. Tahap Evaluasi
Dalam tahap ini dilakukan evaluasi terhadap proses implementasi (evaluasi proses) serta dampak yang ditimbulkan, dilakukan pembandingan antara rencana dengan capaian atau hasil yang dicapai (evaluasi dampak).

Rabu, 23 Desember 2009

KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN


Petani adalah ujung tombak penjaga ketahanan pangan kita. Bila produktivitas dan pendapatan mereka meningkat, akan sangat signifikan konstribusinya kepada ketahanan pangan nasional. Mengapa? Pertama, jika produktivitas usaha tani meningkat, berarti suplai pangan nasional meningkat pula. Hal ini berarti meningkatkan tingkat ketersediaan pangan nasional.

Kedua, ketika hasil usaha tani mereka mampu memberikan pendapatan tinggi, berarti akses petani terhadap pangan meningkat. Kita tahu, sekitar 60% penduduk Indonesia ini adalah petani yang 89% di antaranya merupakan petani guram yang miskin. Naiknya pendapatan mereka berarti aspek keterjangkauan dalam ketahanan pangan nasional akan meningkat pula.

Setidaknya ada empat kendala yang dihadapi petani sehingga mereka mengalami kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatannya (kemandirian ekonominya). Pertama, kendala struktural sumber daya lahan. Sebagian besar petani kita adalah petani lahan sempit. Teori ekonomi mengatakan ada ukuran skala ekonomi tertentu dari aktivitas produksi yang harus dipenuhi (economic of scale) agar suatu unit usaha bisa menguntungkan dan efisien. Jelas luas lahan yang sangat rendah tersebut adalah kendala struktural yang dihadapi petani kita untuk memperoleh pendapatan usaha tani yang bersifat insentif untuk berproduksi. Kendala kedua adalah masalah rendahnya akses terhadap input pertanian penting. Sedangkan kendala ketiga adalah minimnya akses terhadap dana dan modal. Dan, kendala keempat adalah banyaknya masalah pada pemasaran output mereka.

Strategi dan kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani adalah sebagai berikut (lihat Irawan, 2002a): Pertama, kebijakan yang berorientasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan (petani) sekaligus meningkatkan produksi pangan nasional. Kebijakan tersebut meliputi land reform policy. Land reform policy ini bertujuan agar para petani memiliki luas lahan yang memberikan keuntungan untuk dikelola sekaligus meningkatkan produktivitas usaha taninya. Dalam konteks Indonesia, kebijakan ini dapat direalisasikan dalam wujud pembangunan areal pertanian baru yang luas di luar Jawa untuk dibagikan kebada buruh-buruh tani (petani tanpa lahan), para petani guram (petani berlahan sempit), para peladang berpindah, dan perambah hutan yang diikuti dengan bimbingan budi daya pertanian secara modern serta mekanisasi pertanian berorientasi komersial (agrobisnis).

Dalam skala makro, pemerintah juga harus mendorong kebijakan harga yang fair. Dalam hal ini sangat penting adanya kebijakan harga dasar yang efektif dan penerapan tarif impor secara simultan. Tetapi, tidak cukup hanya itu. Hendaknya semua parasit ekonomi pertanian seperti penyelundup, tengkulak, pengijon, preman dosa, rentenir, elite desa dan kota, serta para birokrat yang terlibat dalam aktivitas langsung dan kebijakan di lapangan supaya dibersihkan, baik keberadaan maupun perilaku mereka. Sebab, kalau tidak, kenaikan harga pangan tidak akan dinikmati petani, tetapi oleh para parasit ekonomi tersebut.

Kebijakan berikutnya adalah peningkatan akses petani terhadap kredit dan perbaikan kualitas pelayanan kredit, menghilangkan lembaga pencari rente dan kelompok free rider, serta sebanyak mungkin memberikan dana berputar atau pinjaman lunak untuk perbaikan sarana penyimpanan, transportasi, dan pemasaran hasil pertanian. Sedangkan akses terhadap input produksi penting seperti pupuk dapat diwujudkan dengan tetap menerapkan kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan kedua adalah kebijakan yang berorientasi menjaga aspek keterjangkauan pangan yang meliputi pemetaan wilayah-wilayah yang potensial rawan pangan dan perbaikan akses serta ketersediaan logistik ke wilayah-wilayah tersebut. Juga sangat penting untuk menerapkan program perlindungan sosial berkala berupa program OPK (operasi pasar khusus) dan raskin (beras untuk rakyat miskin) sebagai sarana indirect income transfer untuk berkelompok-kelompok miskin kronis di pedesaan. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan perdaerah tingkat II tentang jumlah dan sebaran kelompok tersebut. Pemetaan ini penting agar program perlindungan sosial ini dapat tepat sasaran.

Kemudian juga harus dilakukan kebijaksanaan diversifikasi pangan. Kebijakan ini bertujuan membiasakan rakyat mengkonsumsi makanan sehari-hari dari berbagai jenis pangan. Dengan terwujudnya kebiasaan makan yang baru tersebut, ketergantungan terhadap salah satu komoditas pangan dapat direduksi. Di era desentralisasi ini, untuk mengaplikasi kebijakan ini pemerintah pusat perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar terwujud kebijakan penganekaragaman pangan nasional yang berbasis lokal. Alternatif kebijakan ini, antara lain, pertama, pengembangan resource untuk produksi beragam pangan lokal termasuk dukungan kebijakan harga, riset dan pengembangannya untuk memacu produktivitas komoditas lokal nonberas di daerah. Kedua, pemberdayaan masyarakat lokal dengan pembinaan kretivitas masyarakat dalam memproduksi, memanfaatkan, dan mengkonsumsi berbagai jenis pangan lokal. Ketiga, pengolahan dan penyediaan berbagai jenis bahan pangan dalam bentuk siap olah untuk masyarakat daerah.

Kebijakan ketiga adalah kebijakan yang berorientasi menjaga stabilitas ketahanan pangan antar waktu (musim). Kebijakan ini meliputi, pertama, impor yang selektif dengan impor pangan tertentu hanya diizinkan untuk daerah-daerah yang bukan kategori sentra produksi pangan tersebut dan tidak dilakukan dalam keadaan panen raya. Kedua, kebijakan yang bertujuan bagaimana melibatkan masyarakat dalam fungsi mekanisme penyeimbang logistik tradisional yang dikenal dengan nama lumbung desa. Hal ini penting mengingat di era mendatang kemampuan badan logistik nasional (Bulog) yang semakin berkurang sebagai penyeimbang logistik antarmusim. Lumbung desa adalah institusi stok pangan lokal yang dulu cukup efektif sebagai penyangga ketahanan pangan (buffer stock) masyarakat.

KLIK IKLAN BERHADIAH DOLLAR