Menurut Heilbroner (1982), pasar merupakan lembaga yang tujuan dan cara kerjanya paling jelas. Tujuan pokok pasar adalah mencari laba (profit). Karena itu, seluruh komponen di dalamnya harus melakukan efisiensi secara maksimum, agar aturan kerjanya tercapai, yaitu memperoleh laba yang setinggi-tingginya.
Secara konseptual, pasar merupakan kelembagaan yang otonom. Dalam bentuknya yang ideal, maka mekanisme pasar diyakini akan mampu mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dengan pengawasan politik dan sosial yang minimal dari pemerintah dan komunitas. Ini merupakan pandangan yang paling ekstrim tentang keberadaan pasar, yang dikenal dengan pandangan fundamentalisme pasar (market fundamentalism).
Agar otonominya terjamin, maka pasar membutuhkan wujud sebagai sebuah kelembagaan, untuk melegitimasi otoritas pemerintah dan komunitas. Caranya adalah dengan membangun kelembagaannya sendiri, dengan menciptakan norma dan aturannya sendiri, serta struktur keorganisasiannya sendiri. Secara keorganisasian, ia membangun garis batas yang tegas dengan pemerintah dan komunitas. Kelembagaan pasar terbentuk tidak secara spontan, namun secara gradual dan evolutif (Martineli, 2002).
Derajat ke-otonom-an pasar pada suatu masyarakat tidaklah sama, tergantung salah satunya pada iklim politik yang melingkupinya. Pada negara berkembang, menurut Heilbroner (1982), perkembangan ekonomi dalam masyarakat dimulai dari tingkat persiapan yang lebih rendah, yaitu dari belum adanya pasar. Pada perkembangan lebih lanjut, mekanisme pasar dengan cepat menggantikan sistem “ekonomi komando” yang
umum berlaku. Ekonomi komando di Indonesia baru terjadi selang beberapa dekade lalu yang juga mendominasi perekonomian pertanian dan pedesaan di Indonesia.
Pasar adalah kelembagaan yang mewujud dalam prinsip-prinsip pertukaran. Sistem pasar berjalan bukan oleh perintah yang terpusat, namun oleh interaksi mutual dalam bentuk transaksi barang dan jasa antar pelaku-pelakunya. Menurut Lindbom (dalam Martineli, 2002: 5):“Markets are the institutional embodiment of the exchange principle. A market system is a system of society-wide coordination of human activities, not by central command but by mutual interaction in the form of transactions”.
Peran pasar dalam masyarakat saat ini sudah sedemikian besar dan diperkirakan akan menjadi semakin besar sejalan dengan semakin sehatnya kehidupan politik dan sosial pada berbagai lapisan masyarakat. Pasar tak lagi bermakna sebagai tempat atau lokasi belaka, namun sudah meluas sebagai bagian penentu aspek moral kehidupan kolektif di tingkat desa hingga nasional. Pasar seolah-olah menjadi penentu segala aturan dan
gaya hidup. Kekuatan pasar (market forces) diambil oleh masyarakat dan negara sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan semua jenis penyakit pembangunan ekonomi. “Planning is out, market forces are in” (Evers, 1997: 80).
Dalam kehidupan sektor pertanian, terlihat fenomena otonomnya para pedagang hasil-hasil pertanian, dimana mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri. Hal ini banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian tataniaga pertanian, misalnya timbulnya pedagang-pedagang pedagang kaki tangan dan pedagang komisioner (Syahyuti, 1998). Ciri kelembagaan berupa kohesivitasnya yang tinggi juga terjadi pada dunia pedagang. Dasar bangunan kelembagaan mereka adalah kepercayaan dengan menggunakan pola interaksi yang berlangganan.
Derajat otonomi pelaku pasar yang relatif tinggi juga dtunjukkan oleh solidaritas sesama pedagang yang tinggi dibandingkan dengan petani produsen. Para pedagang mempersepsikan petani sebagai outgroup. Pasar hasil-hasil pertanian di Indonesia telah membentuk karakter kelembagaannya tersendiri. Salah satunya terlihat dari komposisi dan struktur organ-organ di dalamnya, dimana ditemukan pedagang biasa yang menggunakan modal sendiri, pedagang kaki tangan yang merupakan perpanjangan tangan, atau disebut dengan pedagang pengumpul semu, dan (Zulham dan Yum, 1997), dan pedagang komisioner yang disebut makelar atau broker (lihat misalnya Gunawan et al., 1990). Munculnya sentimen negatif terhadap petani sebagai out-group merupakan salah satu bukti bahwa sesama pedagang memiliki “sentimen kolektif” yang relatif kuat.
Dalam kondisi persaingan yang tinggi, sesama pedagang memiliki solidaritas, misalnya terlihat dari cara mereka dalam membagi resiko ataupun keuntungan. Dalam kondisi pasar yang tidak pernah bersaing sempurna, kepercayaan yang personalistik memiliki peran yang sangat penting. Kuatnya interaksi antar pedagang juga terihat dari penyediaan jasa keuangan dan permodalan. “Jaringan neraca kredit yang kompleks dan bercabang-cabang adalah salah satu mekanisme yang mengikat bersama pedagang besar maupun kecil menjadi faktor integratif dalam pasar” (Geertz, 1989). Memperoleh hutang bagi seorang pedagang kecil bukanlah semata-mata bermakna ekonomi (modal), namun yang lebih utama adalah indikasi terhadap berlakunya sistem dan sebagai bagian pemeliharaan masyarakat pasar yang telah terbentuk.
Menurut Rex (1985), pasar merupakan interaksi bersusun yang kompleks yang meliputi penawaran, pertukaran, dan persaingan. Pertukaran ekonomi merupakan bagian sentral masyarakat modern. Dinamika pasar (dan ekonomi) mengarahkan hampir keseluruhan struktur sosial menurut utopia liberal-utilitarian-individualis. Ciri khas pasar untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya dan rugi sekecil-kecilnya, diperkirakan akan mengenyampingkan golongan masyarakat yang tidak banyak akses terhadap pasar, terutama golongan miskin di pedesaan.
Pasar merupakan kelembagaan yang tegas, dan juga sederhana. Kesedehanaannya tampak dari orientasi kerjanya sangat sempit: “hanya mencari keuntungan”. Kompetisi adalah bentuk utama dari semangat kerjanya, dengan kontrol sosialnya yang berbentuk renumerative compliance (Etzioni, 1961).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar