AGRIBISNIS berbasis peternakan adalah salah satu fenomena yang tumbuh pesat ketika basis lahan menjadi terbatas. Tuntutan sistem usaha tani terpadu pun menjadi semakin rasional seiring dengan tuntutan efisiensi dan efektivitas penggunaan lahan, tenaga kerja, modal, dan faktor produksi lain yang amat terbatas itu. Agribisnis memang mengedepankan suatu sistem budaya, organisasi, dan manajemen yang amat rasional, dirancang untuk memperoleh nilai tambah (komersial) yang dapat disebar dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fair, dari produsen, pedagang, konsumen, bahkan sampai pada segenap lapisan masyarakat.
Peluang investasi agribisnis berbasis ini sering kali dipandang sebelah mata oleh para investor, salah satunya karena fluktuasi kinerja tajam. Benar bahwa investasi sektor peternakan cukup besar, tapi pasti tak seorang pengusaha pun yang tidak mampu berhitung tentang besarnya risiko di hampir semua usaha agribisnis.
Hal yang amat diperlukan adalah pemerintah harus berupaya sungguh-sungguh dan lebih sistematis melakukan revitalisasi sektor peternakan agar lebih mampu berkontribusi pada pemulihan ekonomi, mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas lagi. Mengingat jumlah angka pengangguran di negeri ini terus bertambah.
Sektor peternakan sendiri memang amat terpukul pada periode krisis ekonomi dan mengalami kontraksi pertumbuhan negatif 1,92 persen, suatu fluktuasi yang amat tajam dalam sejarah peternakan di Indonesia. Pada periode 1978-1986 sektor peternakan pernah tumbuh tinggi, yakni mendekati angka 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini karena peningkatan efisiensi dalam keseluruhan sistem agribisnis basis peternakan tersebut.
Pada waktu itu, subsistem makanan ternak dan pemasaran produksi hasil peternakan juga tumbuh pesat karena perekonomian Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang tinggi. Ketika sektor pertanian tanaman pangan mengalami fase dekonstruktif dan hanya tumbuh di bawah 2 persen pada periode 1986-1997, maka sektor peternakan justru mampu mempertahankan angka pertumbuhan hampir 6 persen pada periode yang sama (dihitung dari Produk Domestik Bruto/PDB Sektor Pertanian yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik).
KETERGANTUNGAN sektor peternakan terhadap pakan ternak impor telah menjadi salah satu pemicu kontraksi pertumbuhan pada periode krisis ekonomi di atas. Harga pakan ternak melonjak berkali lipat karena kurs mata uang rupiah yang anjlok terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Dengan demikian ini menjadikan harga makanan ternak dengan komponen impor cukup besar itu pun meningkat.
Walaupun telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan, sektor peternakan masih harus berjuang keras melakukan revitalisasi usaha dalam menghadapi asimetri pasar dunia yang amat ganas. Selain itu juga harus mengelola basis produksi di dalam negeri, termasuk meningkatkan produksi jagung domestik sebagai salah satu komponen penting pakan ternak, sekaligus memperkuat industri pakan dalam negeri.
Kasus kontroversi impor paha ayam yang bernuansa "pemaksaan" dari AS beberapa waktu lalu, serta "upaya tak kenal lelah" impor kambing berpenyakit mulut dari Australia adalah salah satu contoh kecil dari sekian tantangan besar yang dihadapi sektor peternakan.
Sektor peternakan harus dikembangkan sebagaimana prinsip-prinsip agribisnis modern. Prinsip itu adalah meningkatkan keterkaitan antarkomponen dan subsistem yang membangun sistem agribisnis secara utuh. Namun, hanya dengan prinsip modern dan integrasi dengan basis usaha tani di lapangan, sektor peternakan dapat menghasilkan produksi pangan yang dapat mengimbangi lonjakan kebutuhan konsumsi yang meningkat cukup pesat.
Kebutuhan atau laju peningkatan konsumsi daging sapi yang sedikit lebih cepat dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir telah menjadikan Indonesia harus memenuhinya dari daging impor. Indonesia sebenarnya mampu mengandalkan industri perunggasan (poultry) untuk menopang kebutuhan konsumsi protein daging ayam dan telur dari dalam negeri. Upaya itu sekaligus membangun keterkaitan kemitraan yang tangguh antara industri kecil dan menengah besar dalam menggulirkan basis ekonomi industri ini.
SALAH satu tantangan besar yang dihadapi sektor peternakan saat ini adalah laju konsumsi susu yang cukup rendah, yaitu 4.3 persen per tahun dibandingkan dengan upaya peningkatan produksi susu dalam negeri sebesar 5 persen per tahun. Namun demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan konsumsi dan produksi di atas tidak dapat dipandang ringan karena kebutuhan konsumsi susu tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri. Menurut data, hanya 44 persen kebutuhan konsumsi susu dapat dipenuhi dai sumber domestik, selebihnya (56 persen) Indonesia masih harus mengandalkan produk susu impor.
Sebagai gambaran perbandingan, juga ditampilkan neraca pangan jagung, sebagai salah satu proxy kinerja makan ternak di dalam negeri. Produksi jagung domestik tumbuh cukup lambat (3,9 persen) dibandingkan dengan kebutuhan domestiknya (4,6 persen) sehingga Indonesia masih perlu mengimpor jagung secara signifikan. Dalam hal kuantitas pun, data terakhir yang dapat dikumpulkan menunjukkan bahwa produksi jagung domestik hanya berkisar 9,3 juta ton. Konsumsinya mencapai 10,3 juta ton sehingga menjadikan Indonesia harus mengimpor jagung sekitar 1 juta ton per tahun, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, pemerintah masih terkesan ragu-ragu dalam menetapkan pajak impor atau bea masuk impor jagung. Mungkin pemerintah masih belum percaya diri mengambil kesimpulan analisis dalam hal keuntungan dan kerugian jangka pendek, serta jangka panjang terhadap konsekuensi dari pembatasan impor jagung tersebut.
Keragu-raguan seperti itu amat berpengaruh pada keputusan yang diambil para pelaku usaha di dalam negeri yang sebenarnya lebih mengharapkan kepastian hukum dan ketegasan pemerintah dalam mengawal sebuah kebijakan publik. Tidak berlebihan jika terdapat beberapa spekulasi bahwa upaya sekian macam gerakan dan slogan kebijakan pemerintah untuk mencapai swasembada produksi jagung hanyalah wacana politik saja karena masih terdapat kontroversi di dalam negeri sendiri. Membangun kebijakan sektor pertanian yang tangguh untuk meningkatkan kemandirian bangsa tidak cukup hanya dengan slogan semata, tetapi juga harus diikuti tindakan nyata di tingkat lapangan.
Terlepas dari kontroversi yang disebutkan di atas, agribisnis berbasis peternakan harus terus dibangun dan dikembangkan seiring dengan upaya besar pemulihan ekonomi dan pembangunan ekonomi daerah. Promosi investasi agribisnis di daerah akan dapat menghasilkan dampak ganda (multiplier effects) terhadap aktivitas ekonomi masyarakat lainnya. Langkah inilah yang diharapkan dapat menghasilkan lapangan kerja baru dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, yang selama ini menjadi constrain penting dalam membangun bangsa yang tangguh dan berdaya saing.
OLEH sebab itu, untuk menggairahkan investasi agribisnis berbasis peternakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus merangsang investor untuk menggarap dan memanfaatkan potensi dan peluang usaha peternakan dan agribisnis basis sumber daya alam lain secara umum. Pemerintah daerah dilarang keras membunuh inisiatif usaha di tingkat lokal. Misalnya, karena aparatnya berbeda partai atau ideologi politik dengan pelaku ekonomi yang melakukan investasi agribisnis di daerah. Pemerintah pusat perlu memberikan insentif lebih besar bidang perpajakan dan nonperpajakan untuk inisiatif investasi di tingkat daerah, terutama yang memberikan dampak ganda peningkatan kesempatan kerja.
Setiap daerah otonom perlu menjadi motivator dan fasilitator investasi, minimal dalam pertukaran informasi mengenai kandungan sumber daya (resource endowments) di daerah: lahan, tenaga kerja, sumber permodalan dan teknologi. Langkah awalnya dapat dimulai dari upaya penyediaan basis data dan informasi dalam menggalang kerja sama antardaerah, serta dalam fungsi koordinasi yang dijalankan oleh provinsi. Pemerintah tingkat provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat perlu menjadi koordinator yang lebih berwibawa untuk merumuskan dan menjalankan orkestra pengembangan ekonomi daerah.
Melalui langkah inilah semangat otonomi daerah akan membawa misi kepentingan nasional, keutuhan bangsa, dan kemajemukan perkembangan ekonomi yang mampu menghasilkan tingkat kemandirian daerah yang sebenarnya.
Sumber :Dr Bustanul Arifin, Pengamat Ekonomi
Peluang investasi agribisnis berbasis ini sering kali dipandang sebelah mata oleh para investor, salah satunya karena fluktuasi kinerja tajam. Benar bahwa investasi sektor peternakan cukup besar, tapi pasti tak seorang pengusaha pun yang tidak mampu berhitung tentang besarnya risiko di hampir semua usaha agribisnis.
Hal yang amat diperlukan adalah pemerintah harus berupaya sungguh-sungguh dan lebih sistematis melakukan revitalisasi sektor peternakan agar lebih mampu berkontribusi pada pemulihan ekonomi, mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas lagi. Mengingat jumlah angka pengangguran di negeri ini terus bertambah.
Sektor peternakan sendiri memang amat terpukul pada periode krisis ekonomi dan mengalami kontraksi pertumbuhan negatif 1,92 persen, suatu fluktuasi yang amat tajam dalam sejarah peternakan di Indonesia. Pada periode 1978-1986 sektor peternakan pernah tumbuh tinggi, yakni mendekati angka 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini karena peningkatan efisiensi dalam keseluruhan sistem agribisnis basis peternakan tersebut.
Pada waktu itu, subsistem makanan ternak dan pemasaran produksi hasil peternakan juga tumbuh pesat karena perekonomian Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang tinggi. Ketika sektor pertanian tanaman pangan mengalami fase dekonstruktif dan hanya tumbuh di bawah 2 persen pada periode 1986-1997, maka sektor peternakan justru mampu mempertahankan angka pertumbuhan hampir 6 persen pada periode yang sama (dihitung dari Produk Domestik Bruto/PDB Sektor Pertanian yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik).
KETERGANTUNGAN sektor peternakan terhadap pakan ternak impor telah menjadi salah satu pemicu kontraksi pertumbuhan pada periode krisis ekonomi di atas. Harga pakan ternak melonjak berkali lipat karena kurs mata uang rupiah yang anjlok terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Dengan demikian ini menjadikan harga makanan ternak dengan komponen impor cukup besar itu pun meningkat.
Walaupun telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan, sektor peternakan masih harus berjuang keras melakukan revitalisasi usaha dalam menghadapi asimetri pasar dunia yang amat ganas. Selain itu juga harus mengelola basis produksi di dalam negeri, termasuk meningkatkan produksi jagung domestik sebagai salah satu komponen penting pakan ternak, sekaligus memperkuat industri pakan dalam negeri.
Kasus kontroversi impor paha ayam yang bernuansa "pemaksaan" dari AS beberapa waktu lalu, serta "upaya tak kenal lelah" impor kambing berpenyakit mulut dari Australia adalah salah satu contoh kecil dari sekian tantangan besar yang dihadapi sektor peternakan.
Sektor peternakan harus dikembangkan sebagaimana prinsip-prinsip agribisnis modern. Prinsip itu adalah meningkatkan keterkaitan antarkomponen dan subsistem yang membangun sistem agribisnis secara utuh. Namun, hanya dengan prinsip modern dan integrasi dengan basis usaha tani di lapangan, sektor peternakan dapat menghasilkan produksi pangan yang dapat mengimbangi lonjakan kebutuhan konsumsi yang meningkat cukup pesat.
Kebutuhan atau laju peningkatan konsumsi daging sapi yang sedikit lebih cepat dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir telah menjadikan Indonesia harus memenuhinya dari daging impor. Indonesia sebenarnya mampu mengandalkan industri perunggasan (poultry) untuk menopang kebutuhan konsumsi protein daging ayam dan telur dari dalam negeri. Upaya itu sekaligus membangun keterkaitan kemitraan yang tangguh antara industri kecil dan menengah besar dalam menggulirkan basis ekonomi industri ini.
SALAH satu tantangan besar yang dihadapi sektor peternakan saat ini adalah laju konsumsi susu yang cukup rendah, yaitu 4.3 persen per tahun dibandingkan dengan upaya peningkatan produksi susu dalam negeri sebesar 5 persen per tahun. Namun demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan konsumsi dan produksi di atas tidak dapat dipandang ringan karena kebutuhan konsumsi susu tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri. Menurut data, hanya 44 persen kebutuhan konsumsi susu dapat dipenuhi dai sumber domestik, selebihnya (56 persen) Indonesia masih harus mengandalkan produk susu impor.
Sebagai gambaran perbandingan, juga ditampilkan neraca pangan jagung, sebagai salah satu proxy kinerja makan ternak di dalam negeri. Produksi jagung domestik tumbuh cukup lambat (3,9 persen) dibandingkan dengan kebutuhan domestiknya (4,6 persen) sehingga Indonesia masih perlu mengimpor jagung secara signifikan. Dalam hal kuantitas pun, data terakhir yang dapat dikumpulkan menunjukkan bahwa produksi jagung domestik hanya berkisar 9,3 juta ton. Konsumsinya mencapai 10,3 juta ton sehingga menjadikan Indonesia harus mengimpor jagung sekitar 1 juta ton per tahun, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, pemerintah masih terkesan ragu-ragu dalam menetapkan pajak impor atau bea masuk impor jagung. Mungkin pemerintah masih belum percaya diri mengambil kesimpulan analisis dalam hal keuntungan dan kerugian jangka pendek, serta jangka panjang terhadap konsekuensi dari pembatasan impor jagung tersebut.
Keragu-raguan seperti itu amat berpengaruh pada keputusan yang diambil para pelaku usaha di dalam negeri yang sebenarnya lebih mengharapkan kepastian hukum dan ketegasan pemerintah dalam mengawal sebuah kebijakan publik. Tidak berlebihan jika terdapat beberapa spekulasi bahwa upaya sekian macam gerakan dan slogan kebijakan pemerintah untuk mencapai swasembada produksi jagung hanyalah wacana politik saja karena masih terdapat kontroversi di dalam negeri sendiri. Membangun kebijakan sektor pertanian yang tangguh untuk meningkatkan kemandirian bangsa tidak cukup hanya dengan slogan semata, tetapi juga harus diikuti tindakan nyata di tingkat lapangan.
Terlepas dari kontroversi yang disebutkan di atas, agribisnis berbasis peternakan harus terus dibangun dan dikembangkan seiring dengan upaya besar pemulihan ekonomi dan pembangunan ekonomi daerah. Promosi investasi agribisnis di daerah akan dapat menghasilkan dampak ganda (multiplier effects) terhadap aktivitas ekonomi masyarakat lainnya. Langkah inilah yang diharapkan dapat menghasilkan lapangan kerja baru dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, yang selama ini menjadi constrain penting dalam membangun bangsa yang tangguh dan berdaya saing.
OLEH sebab itu, untuk menggairahkan investasi agribisnis berbasis peternakan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus merangsang investor untuk menggarap dan memanfaatkan potensi dan peluang usaha peternakan dan agribisnis basis sumber daya alam lain secara umum. Pemerintah daerah dilarang keras membunuh inisiatif usaha di tingkat lokal. Misalnya, karena aparatnya berbeda partai atau ideologi politik dengan pelaku ekonomi yang melakukan investasi agribisnis di daerah. Pemerintah pusat perlu memberikan insentif lebih besar bidang perpajakan dan nonperpajakan untuk inisiatif investasi di tingkat daerah, terutama yang memberikan dampak ganda peningkatan kesempatan kerja.
Setiap daerah otonom perlu menjadi motivator dan fasilitator investasi, minimal dalam pertukaran informasi mengenai kandungan sumber daya (resource endowments) di daerah: lahan, tenaga kerja, sumber permodalan dan teknologi. Langkah awalnya dapat dimulai dari upaya penyediaan basis data dan informasi dalam menggalang kerja sama antardaerah, serta dalam fungsi koordinasi yang dijalankan oleh provinsi. Pemerintah tingkat provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat perlu menjadi koordinator yang lebih berwibawa untuk merumuskan dan menjalankan orkestra pengembangan ekonomi daerah.
Melalui langkah inilah semangat otonomi daerah akan membawa misi kepentingan nasional, keutuhan bangsa, dan kemajemukan perkembangan ekonomi yang mampu menghasilkan tingkat kemandirian daerah yang sebenarnya.
Sumber :Dr Bustanul Arifin, Pengamat Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar