PARIWARA



Tampilkan postingan dengan label KUD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KUD. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 Juni 2010

AGROPOLITAN

Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Mc.Douglass dan Friedmann (1974, dalam Pasaribu, 1999) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “kota di ladang”.

Dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan masalah produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat dekat dengan pemukiman petani, baik pelayanan mengenai teknik berbudidaya pertanian maupun kredit modal kerja dan informasi pasar.

Besarnya biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatkan faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan pusat agropolitan. Jadi peran agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan, dan lain-lain), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi, listrik, dan lain-lain), serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi, dan lain-lain).

Dalam konsep agropolitan juga diperkenalkan adanya agropolitan district, suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan 5 – 10 km dan dengan jumlah penduduk 50 – 150 ribu jiwa serta kepadatan minimal 200 jiwa/km2. Jasa-jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Agropolitan district perlu mempunyai otonomi lokal yang memberi tatanan terbentuknya pusat-pusat pelayanan di kawasan perdesaan telah dikenal sejak lama. Pusat-pusat pelayanan tersebut dicirikan dengan adanya pasar-pasar untuk pelayanan masyarakat perdesaan. Mengingat volume permintaan dan penawaran yang masih terbatas dan jenisnya berbeda, maka telah tumbuh pasar mingguan untuk jenis komoditi yang berbeda. Di Jawa, pusat-pusat pelayanan tersebut dikenal dengan nama pasar Pahing, Pon, Wage atau Kliwon, sedangkan di Jakarta dikenal dengan nama pasar Minggu, Senen, Rebo, dan Jum’at. Pusat-pusat tersebut berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan yang terkait dengan kegiatan yang produktif maupun untuk pelayanan kebutuhan non produktif.

Pada zaman penjajahan, fungsi utama pusat-pusat pelayanan perdesaan dikaitkan dengan kebutuhan pemerintah kolonial atau perusahaan perkebunan maupun pertanian untuk meningkatkan produksi dan atau mengangkut hasil produksi perkebunan. Untuk itu banyak dibangun jaringan rel kereta api yang menghubungkan pusat produksi di perdesaan dengan pusat pengumpulan yang lebih besar untuk diangkut ke luar wilayah dan diekspor ke Eropa.

Saat itu kepentingan utamanya adalah untuk menghasilkan produk-produk yang berorientasi pada ekspor yang menguntungkan negara penjajah, mengingat semua keuntungan yang diperoleh dari perkebunan di Indonesia diinvestasikan kembali di negara penjajah. Petani dan negara jajahan tidak mendapat keuntungan sama sekali. Pusat-pusat agropolitan dan agropolitan distrik yang berkembang saat itu sekarang telah berkembang menjadi beberapa kota metropolitan.

Pada zaman kemerdekaan hingga saat ini, pusat-pusat perdesaan relatif masih sama dengan masa sebelumnya, hanya volume dan jenis komoditi yang diperdagangkan mulai berkembang. Program pemerintah dengan menempatkan kantor Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dipandang sebagai peningkatan pelayanan kepada kawasan perdesaan dalam menyalurkan sarana produksi (Saprodi) maupun dalam menampung hasil panen. Pelayanan kesehatan juga mulai ditingkatkan di pusat desa maupun pusat kecamatan melalui pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap kecamatan dan ,Puskesmas Pembantu pada desa-desa tertentu. Konsep pengembangan agropolitan distrik sebenarnya juga sudah diimplementasikan dengan cara pengembangan kawasan pemukiman baru melalui Pengembangan Unit Pemukiman Transmigrasi, Pengembangan Kawasan Andalan, Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET), dan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP).

Sumber : Husainie Syahrani, 2001, Penerapan Agropolitan dan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Daerah, Frontir Nomor 33

Kamis, 12 Februari 2009

PERAN PERBANKAN DI INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN USAHA MIKRO


Keadaan perbankan di Indonesia tidak jauh berbeda dari perbankan di banyak Negara di dunia, yaitu belum begitu banyak yang melayani kebutuhan kredit dari pengusaha-pengusaha mikro. Bank-bank di Indonesia baik milik Pemerintah maupun swasta apalagi swasta asing, pada umumnya tidaklah dimaksudkan untuk melayani perusahaan kecil khususnya perusahaan mikro.

Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program-program pendidikan, manajemen, sistem administrasi, cara dan prosedur pelayanan serta falsafah perusahaan diarahkan untuk melayani orang-orang yang sudah mapan dan berada. Dengan demikian telah dapat diduga bahwa perbankan di Indonesia belum berperan dalam pemerataan kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan.

Tetapi hal itu tidak berarti bahwa tidak ada usaha kearah pemerataan tersebut diatas. Bank Sentral telah merintis kearah itu melalui berbagai kredit program, seperti Kredit Bimas, Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Keppres 14A, KIK/KMKP sampai dengan Rp. 75 juta, Kredit Keppres 29, Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Kredit Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI), Kredit Pencetakan Sawah, Kredit Profesi Guru (KPG), Kredit Mahasiswa (KMI), Kredit Asrama Mahasiswa, Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dan lain-lain. Kredit-kredit program yang tidak mementingkan jaminan dalam pemberian kredit tersebut disalurkan melalui Bank Umum milik Pemerintah dan sebagian saja yang disalurkan melalui Bank Umum milik Swasta dan Koperasi Unit Desa (KUD).

Kredit-kredit program tersebut diatas dibiayai dengan kredit likuiditas Bank Indonesia. Dengan diterbitkannya serangkaian peraturan mengenai keuangan, moneter dan perbankan pada tanggal 27 Oktober 1988, yang dikenal dengan Pakto 27, 1988 diadakan deregulasi perbankan yang antara lain membuka kesempatan untuk pendirian bank-bank baru termasuk BPR, dan pembukaan kantor-kantor cabang baru. Selain itu perbankan diberi kebebasan untuk memobilisasi dana dan memperluas jasa-jasa pelayanan perbankan kepada masyarakat, kemudian diterbitkan ketentuan lanjutan Pakto, pada tanggal 29 Januari 1989 tentang Penyempurnaan Sistem Perkreditan. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan jenis dan jumlah kredit likuiditas dikurangi.

Kredit perbankan yang masih ditunjang kredit likuiditas BI adalah yang ditujukan untuk pelestarian swasembada pangan, pengembangan koperasi serta peningkatan investasi, maka ditentukan bahwa kredit yang masih ditunjang dengan kredit likuiditas BI terdiri dari:

  1. Kredit Usaha Tani (KUT);
  2. Kredit kepada Koperasi yang terdiri dari kredit kepada KUD untuk membiayai pengadaan padi, cengkeh dan pupuk, serta kredit kepada koperasi primer untuk anggotanya;
  3. Kredit kepada Bulog untuk pengadaan pangan dan gula;
  4. Kredit investasi yang diberikan oleh bank-bank pembangunan dan lembaga-lembaga keuangan bukan bank seperti kredit investasi untuk sektor perkebunan yang selama ini dikenal dengan PIR-Trans serta kredit pemilikan rumah (KPR) yang diberikan oleh lembaga yang ditugasi untuk itu.
Dalam Ketentuan Lanjutan Pakto tersebut ditetapkan pula bahwa dalam rangka mendukung pengembangan usaha kecil, maka 20% kredit yang diberikan oleh setiap bank disediakan bagi usaha kecil. Jenis kredit ini selanjutnya dikenal sebagai Kredit Usaha Kecil (KUK).

Diluar kredit program yang dibiayai dengan kredit likuiditas BI, terdapat pula Kredit Umum Pedesaan (KUPEDES) yang diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) kepada penduduk didaerah pedesaan, dan kredit bank Perkreditan Rakyat (BPR).

KLIK IKLAN BERHADIAH DOLLAR