Menurut Taylor dan Mckenzie (1992), ada tujuh alasan kenapa inisiatif lokal diperlukan. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan karena pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan, yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.
Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara tendesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang berciri sentralisitik tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan yang ada, dan cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan.
Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternatif pendekatan pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan bangsa Indonesia, atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan
atau paradigma pembangunan Indonesia. Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik masyarakat desa, mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau merupakan paradoks pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan desa seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara satu tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa. Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi harmoni yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoksal ini maka penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah.
Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa haruslah berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat. Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembagunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa oraganisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).
Sumber: Syahyuti. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.