PARIWARA



Rabu, 28 Juli 2010

DESENTRALISASI EKONOMI

Pembangunan ekonomi daerah dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional berarti menjadikan perekonomian daerah sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Sebagai agregasi dari ekonomi daerah, perekonomian nasional yag tangguh hanya mungkin diwujudkan melalui perekonomian daerah yang kokoh. Rapuhnya perekonomian nasional selama ini di satu sisi dan parahnya disparitas ekonomi antar daerah dan golongan di sisi lain mencerminkan bahwa perekonomian Indonesia di masa lalu tidak berakar kuat pada ekonomi daerah.


Dalam kerangka pembangunan ekonomi daerah, desentralisasi ekonomi bukan sekedar pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi paling tidak harus diterjemahkan dalam tiga aspek perubahan penting. Pertama, “pendaerahan” pengelolaan pembangunan ekonomi (perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, dan evaluasi) yang sebelumnya lebih didominasi pemerintah pusat dialihkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak perlu lagi terlampau banyak intervensi secara langsung dalam pembangunan ekonomi daerah, tetapi perlu diberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk berkreasi dan mengambil inisiatif dalam pembangunan ekonomi di daerahnya masing-masing. Kedua, swastanisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Di masa lalu, dengan kebijakan pembangunan yang sentralis atau top down, pemerintah cenderung terlalu banyak menangani dan mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebenarnya dapat ditangani secara lebih efisien oleh swasta atau rakyat, baik secara individu maupun melalui badan usaha. Peran pemerintah yang terlalu dominan dalam pembangunan ekonomi selain memboroskan penggunaan anggaran negara, juga telah banyak mematikan kreativitas ekonomi rakyat dan kelembagaan lokal. Di masa yang akan datang, jika desentralisasi ekonomi benar-benar akan diwujudkan, maka rasionalisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi harus benar-benar dilakukan. Paradigma lama yang menganggap pembangunan adalah seolah-olah adalah “karya agung” pemerintah harus diubah menjadi pembangunan merupakan kreativitas rakyat. Kegiatan ekonomi yang dapat dilaksanakan oleh rakyat atau swasta harus diserahkan kepada rakyat atau swasta. Ketiga, organisasi dan kelembagaan pembangunan ekonomi juga harus mengalami perubahan. Di masa lalu, untuk “memberhasilkan” kebijakan pembangunan yang top down, pemerintah sering membentuk organisasi dan kelembagaan baru (yang oleh pemerintah dianggap modern) dan “meminggirkan” organisasi dan kelembagaan lokal. Contohnya, kelembagaan lumbung keluarga dan desa yang telah teruji kemampuannya sebagai kelembagaan ketahanan pangan lokal digantikan oleh BULOG/DOLOG/SUB DOLOG, kelembagaan sistem bagi hasil digantikan oleh sistem kelembagaan PIR, bapak angkat atau kemitraan, kelembagaan tata ekosistem desa diganti dengan RT-RW, kelembagaan tanah lokal disingkirkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria, dan lain sebagainya.

Penyingkiran organisasi dan kelembagaan lokal telah menyebabkan rakyat kehilangan kemandirian dalam memecahkan permasalahannya sendiri. Dimasa yang akan datang untuk mengembangkan ekonomi daerah, maka seyogyanya organisasi dan kelembagaan lokal harus dibangkitkan kembali dan dimodernisasi (bukan digantikan) menjadi organisasi dan kelembagaan pembangunan daerah. Ketiga aspek tersebut sejalan dengan pemikiran dalam konsep otonomi daerah dengan kebijaksanaan pembangunan yang bersifat bottom-up.

Dengan ketiga perubahan tersebut diharapkan perekonomian daerah akan digerakkan oleh kreativitas rakyat beserta kelembagaan lokal sedemikain rupa, sehingga potensi ekonomi yang terdapat di setiap daerah dapat dimanfaatkan demi kemajuan ekonomi daerah yang bersangkutan. Agar pembangunan ekonomi daerah dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat, maka sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah haruslah sektor ekonomi yang dapat mendayagunakan sumber daya yang terdapat atau dikuasai oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Sumber : Husainie Syahrani, 2001, Penerapan Agropolitan dan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Daerah, Frontir Nomor 33

Selasa, 20 Juli 2010

AGROEKOLOGI

Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah.

Karena paling sulit dimodifikasi iklim merupakan perubah yang paling dominan. Iklim dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor iklim utama yang berhubungan erat dengan keragaman tanaman yaitu suhu dan kelengasan. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, suhu dibagi menjadi panas yang biasanya diperoleh pada ketinggian di bawah 700 m dan sejuk untuk wilayah dengan ketinggian yang lebih tinggi sampai sekitar 2000 m di atas permukaan laut. Di Indonesia juga dijumpai wilayah dengan rejim suhu yang dingin pada elevasi yang lebih, tetapi tidak banyak diusahakan untuk pertanian.

Kelengasan walaupun banyak ditentukan oleh sebaran hujan tidak hanya ditentukan berdasarkan sebaran curah hujan tetapi lebih ditekankan pada keadaan tanah. Daerah pelembahan yang banyak mendapat air dari sekitarnya akan selalu basah walaupun curah hujannya sangat sedikit. Kelengasan dibagi menjadi basah, lembab, agak kering dan kering berdasarkan berapa lama tanah sampai kedalaman tertentu mengalami kekeringan dalam setahun.


Usaha pertanian juga sangat ditentukan oleh bentuk wilayah dan jenis tanah. Bentuk wilayah lebih mudah dinyatakan dengan besarnya lereng, dimana wilayah dapat dikelompokkan menjadi wilayah datar, berombak, bergelombang, berbukit atau bergunung dengan lereng yang semakin meningkat. Sifat-sifat tanah yang sangat menentukan dalam usaha pertanian adalah selang kemasaman, selang tekstur dan drainase.

Sistem pertanian berkelanjutan akan terwujud hanya apabila lahan digunakan untuk sistem pertanian yang tepat dengan cara pengelolaan yang sesuai. Apabila lahan tidak gunakan dengan tepat, produktivitas akan cepat menurun dan ekosistem menjadi terancam kerusakan. Penggunaan lahan yang tepat selain menjamin bahwa lahan dan alam ini memberikan manfaat untuk pemakai pada masa kini, juga menjamin bahwa sumberdaya alam ini bermanfaat untuk generasi penerus di masa-masa mendatang. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi, penggunaan lahan berupa sistem produksi dan pilihan-pilihan tanaman yang tepat dapat ditentukan.

Bentuk wilayah atau fisografi (terrain) yang merupakan faktor utama penentuan sistem produksi disamping sifat-sifat tanah. Lereng lahan banyak dipakai sebagai bahan pertimbangan mengingat bahaya erosi dan penurunan mutu lahan merupakan ancaman yang nyata pada pertanian berlereng curam di daerah tropika basah. Pertanian di lereng yang curam juga membatasi penggunaan tenaga mesin dan ternak dalam pengolahan tanah, sehingga untuk daerah seperti ini lebih banyak dianjurkan tanaman tahunan yang lebih sedikit memerlukan tenaga kerja. Selain masalah erosi dan degradasi lahan, kendala lain seperti efisiensi energi dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan. Pada lahan yang curam, tenaga yang diperlukan untuk mengangkut masukan pertanian dan hasil-hasil pertanian dari dan ke lahan usaha akan menjadi sangat tinggi. Hal ini menyebabkan usahatani pada lahan curam hanya akan menguntungkan apabila upah tenaga relatif rendah.

Apabila diperhitungkan akan menguntungkan secara ekonomi seperti pengusahaan tanaman-tanaman hias, dan sayuran khususnya serat tanaman hortikultura umumnya pembuatan teras bisa dilaksanakan. Perlu juga diingat bahwa pembuatan teras tidak selalu tepat untuk semua tanah. Tanah dengan bahan induk yang berjenis lepas (loose) seperti batuan pasir akan mudah longsor apabila diteras. Pada tanah-tanah masam penterasan akan menyingkap lapisan bawah yang banyak mengandung aluminium yang tinggi dan kurang subur sehingga akan membuat pilihan tanaman menjadi sangat terbatas.

Rabu, 14 Juli 2010

PASAR

Menurut Heilbroner (1982), pasar merupakan lembaga yang tujuan dan cara kerjanya paling jelas. Tujuan pokok pasar adalah mencari laba (profit). Karena itu, seluruh komponen di dalamnya harus melakukan efisiensi secara maksimum, agar aturan kerjanya tercapai, yaitu memperoleh laba yang setinggi-tingginya.

Secara konseptual, pasar merupakan kelembagaan yang otonom. Dalam bentuknya yang ideal, maka mekanisme pasar diyakini akan mampu mengatasi persoalan-persoalan ekonomi dengan pengawasan politik dan sosial yang minimal dari pemerintah dan komunitas. Ini merupakan pandangan yang paling ekstrim tentang keberadaan pasar, yang dikenal dengan pandangan fundamentalisme pasar (market fundamentalism).

Agar otonominya terjamin, maka pasar membutuhkan wujud sebagai sebuah kelembagaan, untuk melegitimasi otoritas pemerintah dan komunitas. Caranya adalah dengan membangun kelembagaannya sendiri, dengan menciptakan norma dan aturannya sendiri, serta struktur keorganisasiannya sendiri. Secara keorganisasian, ia membangun garis batas yang tegas dengan pemerintah dan komunitas. Kelembagaan pasar terbentuk tidak secara spontan, namun secara gradual dan evolutif (Martineli, 2002).

Derajat ke-otonom-an pasar pada suatu masyarakat tidaklah sama, tergantung salah satunya pada iklim politik yang melingkupinya. Pada negara berkembang, menurut Heilbroner (1982), perkembangan ekonomi dalam masyarakat dimulai dari tingkat persiapan yang lebih rendah, yaitu dari belum adanya pasar. Pada perkembangan lebih lanjut, mekanisme pasar dengan cepat menggantikan sistem “ekonomi komando” yang
umum berlaku. Ekonomi komando di Indonesia baru terjadi selang beberapa dekade lalu yang juga mendominasi perekonomian pertanian dan pedesaan di Indonesia.

Pasar adalah kelembagaan yang mewujud dalam prinsip-prinsip pertukaran. Sistem pasar berjalan bukan oleh perintah yang terpusat, namun oleh interaksi mutual dalam bentuk transaksi barang dan jasa antar pelaku-pelakunya. Menurut Lindbom (dalam Martineli, 2002: 5):“Markets are the institutional embodiment of the exchange principle. A market system is a system of society-wide coordination of human activities, not by central command but by mutual interaction in the form of transactions”.

Peran pasar dalam masyarakat saat ini sudah sedemikian besar dan diperkirakan akan menjadi semakin besar sejalan dengan semakin sehatnya kehidupan politik dan sosial pada berbagai lapisan masyarakat. Pasar tak lagi bermakna sebagai tempat atau lokasi belaka, namun sudah meluas sebagai bagian penentu aspek moral kehidupan kolektif di tingkat desa hingga nasional. Pasar seolah-olah menjadi penentu segala aturan dan
gaya hidup. Kekuatan pasar (market forces) diambil oleh masyarakat dan negara sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan semua jenis penyakit pembangunan ekonomi. “Planning is out, market forces are in” (Evers, 1997: 80).

Dalam kehidupan sektor pertanian, terlihat fenomena otonomnya para pedagang hasil-hasil pertanian, dimana mereka seakan-akan membangun dunianya sendiri. Hal ini banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian tataniaga pertanian, misalnya timbulnya pedagang-pedagang pedagang kaki tangan dan pedagang komisioner (Syahyuti, 1998). Ciri kelembagaan berupa kohesivitasnya yang tinggi juga terjadi pada dunia pedagang. Dasar bangunan kelembagaan mereka adalah kepercayaan dengan menggunakan pola interaksi yang berlangganan.

Derajat otonomi pelaku pasar yang relatif tinggi juga dtunjukkan oleh solidaritas sesama pedagang yang tinggi dibandingkan dengan petani produsen. Para pedagang mempersepsikan petani sebagai outgroup. Pasar hasil-hasil pertanian di Indonesia telah membentuk karakter kelembagaannya tersendiri. Salah satunya terlihat dari komposisi dan struktur organ-organ di dalamnya, dimana ditemukan pedagang biasa yang menggunakan modal sendiri, pedagang kaki tangan yang merupakan perpanjangan tangan, atau disebut dengan pedagang pengumpul semu, dan (Zulham dan Yum, 1997), dan pedagang komisioner yang disebut makelar atau broker (lihat misalnya Gunawan et al., 1990). Munculnya sentimen negatif terhadap petani sebagai out-group merupakan salah satu bukti bahwa sesama pedagang memiliki “sentimen kolektif” yang relatif kuat.

Dalam kondisi persaingan yang tinggi, sesama pedagang memiliki solidaritas, misalnya terlihat dari cara mereka dalam membagi resiko ataupun keuntungan. Dalam kondisi pasar yang tidak pernah bersaing sempurna, kepercayaan yang personalistik memiliki peran yang sangat penting. Kuatnya interaksi antar pedagang juga terihat dari penyediaan jasa keuangan dan permodalan. “Jaringan neraca kredit yang kompleks dan bercabang-cabang adalah salah satu mekanisme yang mengikat bersama pedagang besar maupun kecil menjadi faktor integratif dalam pasar” (Geertz, 1989). Memperoleh hutang bagi seorang pedagang kecil bukanlah semata-mata bermakna ekonomi (modal), namun yang lebih utama adalah indikasi terhadap berlakunya sistem dan sebagai bagian pemeliharaan masyarakat pasar yang telah terbentuk.

Menurut Rex (1985), pasar merupakan interaksi bersusun yang kompleks yang meliputi penawaran, pertukaran, dan persaingan. Pertukaran ekonomi merupakan bagian sentral masyarakat modern. Dinamika pasar (dan ekonomi) mengarahkan hampir keseluruhan struktur sosial menurut utopia liberal-utilitarian-individualis. Ciri khas pasar untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya dan rugi sekecil-kecilnya, diperkirakan akan mengenyampingkan golongan masyarakat yang tidak banyak akses terhadap pasar, terutama golongan miskin di pedesaan.

Pasar merupakan kelembagaan yang tegas, dan juga sederhana. Kesedehanaannya tampak dari orientasi kerjanya sangat sempit: “hanya mencari keuntungan”. Kompetisi adalah bentuk utama dari semangat kerjanya, dengan kontrol sosialnya yang berbentuk renumerative compliance (Etzioni, 1961).

Kamis, 08 Juli 2010

TRANFORMASI KEUNGGULAN KOMPARATIF

Menurut Saragih dan Sipayung (2000), keunggulan komparatif dapat ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif melalui langkah-langkah berikut.

Tahap pertama, pembangunan agribisnis adalah pembangunan sistem agribisnis yang digerakkan oleh factor driven, yaitu sumber daya alam dan tenaga kerja kurang terdidik (natural resources and unskill labor base). Hal ini berarti sumber pertumbuhan output sistem agribisnis secara keseluruhan didominasi oleh pemanfaatan sumber daya alam dan tenaga kerja kurang terdidik dan tahapan ini sering disebut ekstensifikasi. Pada tahapan factor driven ini, kegiatan sub sistem hulu dan hilir belum berkembang secara optimal dan kondisi agribisnis berada pada sub sistem on-farm/budidaya yang didominasi oleh komoditas primer tanpa pengolahan. Konsekuensi dari keadaan ini adalah lebih terbatasnya pasar produk, sehingga keunggulan bersaing relatif rendah. Fakta ini menjadi terlihat sangat jelas, dari ketidakmampuan produk lokal untuk memenuhi permintaan pasar regional Asean maupun pasar Timur Tengah yang sampai saat ini masih tetap terbuka lebar. Sistem agribisnis yang bertumpu sepenuhnya pada sumber daya lokal, tidak dapat diandalkan secara terus menerus, karena rendahnya nilai tambah yang dihasilkan, sehingga tidak mampu bersaing dalam pasar yang kompetitif. 

Tahap kedua, pembangunan sistem agribisnis digerakkan oleh capital driven, yaitu penggunaan input capital dan tenaga kerja lebih terdidik (capital and skill labor based). Tahap ini ditandai dengan berkembangnya sub sistem agribisnis hulu dan hilir, sehingga penggunaan barang modal pada sub sistem on-farm cukup besar.Pada tahapan capital driven, industri hulu yang diperlukan adalah: usaha pembibitan, pabrik pakan ternak, pabrik obat-vaksin-vitamin-hormon dan peralatan serta perlengkapan kandang. Pada industri hilir telah tumbuh industri yang memproduksi berbagai produk yang berasal dari daging, kulit, dan bulu domba serta pemasarannya, baik di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri. Jika industri hulu dan hilir komoditas domba telah berkembang dengan pesat, maka berarti pada tahapan ini telah terjadi peningkatan keunggulan bersaing.

Tahap ketiga, untuk mencapai keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) pengembangan peternakan domba harus digerakkan oleh inovasi (innovation driven) dengan sumbe daya manusia yang terdidik (knowledge and skill labor base). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber keunggulan bersaing di era pasar bebas terletak pada penguasaan teknologi oleh sumber daya manusia yang unggul dan terdidik. Jika tahapan ini dapat dicapai maka produk-produk yang berasal dari domba hasil peternakan rakyat akan punya daya saing yang tinggi. Innovation driven pada peternakan domba dapat diimplementasikan dalam tiga bidang, yaitu: breeding, feeding dan management.

Jumat, 02 Juli 2010

AGROEKOLOGI

Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah.

Karena paling sulit dimodifikasi iklim merupakan perubah yang paling dominan. Iklim dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor iklim utama yang berhubungan erat dengan keragaman tanaman yaitu suhu dan kelengasan. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, suhu dibagi menjadi panas yang biasanya diperoleh pada ketinggian di bawah 700 m dan sejuk untuk wilayah dengan ketinggian yang lebih tinggi sampai sekitar 2000 m di atas permukaan laut. Di Indonesia juga dijumpai wilayah dengan rejim suhu yang dingin pada elevasi yang lebih, tetapi tidak banyak diusahakan untuk pertanian.


Kelengasan walaupun banyak ditentukan oleh sebaran hujan tidak hanya ditentukan berdasarkan sebaran curah hujan tetapi lebih ditekankan pada keadaan tanah. Daerah pelembahan yang banyak mendapat air dari sekitarnya akan selalu basah walaupun curah hujannya sangat sedikit. Kelengasan dibagi menjadi basah, lembab, agak kering dan kering berdasarkan berapa lama tanah sampai kedalaman tertentu mengalami kekeringan dalam setahun.

Usaha pertanian juga sangat ditentukan oleh bentuk wilayah dan jenis tanah. Bentuk wilayah lebih mudah dinyatakan dengan besarnya lereng, dimana wilayah dapat dikelompokkan menjadi wilayah datar, berombak, bergelombang, berbukit atau bergunung dengan lereng yang semakin meningkat. Sifat-sifat tanah yang sangat menentukan dalam usaha pertanian adalah selang kemasaman, selang tekstur dan drainase.

Sistem pertanian berkelanjutan akan terwujud hanya apabila lahan digunakan untuk sistem pertanian yang tepat dengan cara pengelolaan yang sesuai. Apabila lahan tidak gunakan dengan tepat, produktivitas akan cepat menurun dan ekosistem menjadi terancam kerusakan. Penggunaan lahan yang tepat selain menjamin bahwa lahan dan alam ini memberikan manfaat untuk pemakai pada masa kini, juga menjamin bahwa sumberdaya alam ini bermanfaat untuk generasi penerus di masa-masa mendatang. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi, penggunaan lahan berupa sistem produksi dan pilihan-pilihan tanaman yang tepat dapat ditentukan.

Bentuk wilayah atau fisografi (terrain) yang merupakan faktor utama penentuan sistem produksi disamping sifat-sifat tanah. Lereng lahan banyak dipakai sebagai bahan pertimbangan mengingat bahaya erosi dan penurunan mutu lahan merupakan ancaman yang nyata pada pertanian berlereng curam di daerah tropika basah. Pertanian di lereng yang curam juga membatasi penggunaan tenaga mesin dan ternak dalam pengolahan tanah, sehingga untuk daerah seperti ini lebih banyak dianjurkan tanaman tahunan yang lebih sedikit memerlukan tenaga kerja. Selain masalah erosi dan degradasi lahan, kendala lain seperti efisiensi energi dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan. Pada lahan yang curam, tenaga yang diperlukan untuk mengangkut masukan pertanian dan hasil-hasil pertanian dari dan ke lahan usaha akan menjadi sangat tinggi. Hal ini menyebabkan usahatani pada lahan curam hanya akan menguntungkan apabila upah tenaga relatif rendah.

Apabila diperhitungkan akan menguntungkan secara ekonomi seperti pengusahaan tanaman-tanaman hias, dan sayuran khususnya serat tanaman hortikultura umumnya pembuatan teras bisa dilaksanakan. Perlu juga diingat bahwa pembuatan teras tidak selalu tepat untuk semua tanah. Tanah dengan bahan induk yang berjenis lepas (loose) seperti batuan pasir akan mudah longsor apabila diteras. Pada tanah-tanah masam penterasan akan menyingkap lapisan bawah yang banyak mengandung aluminium yang tinggi dan kurang subur sehingga akan membuat pilihan tanaman menjadi sangat terbatas.

KLIK IKLAN BERHADIAH DOLLAR