PARIWARA



Rabu, 30 Desember 2009

EKONOMI KERAKYATAN


Definisi tentang ekonomi kerakyatan masih sulit disepakati. Namun demikian, berdasarkan berbagai sumber bacaan ilmiah maka secara harfiah dan dengan segala keterbatasan berusaha menyimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.


Bentuk ekonomi kerakyatan merupakan salah satu usaha yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, dilakukan oleh masyarakat, dengan keterbatasan modalkan, sumberdaya insani, sarana produksi, dan sebagainya. Ekonomi rakyat yang perlu menjadi perhatian kita adalah usaha yang dilakukan oleh satu keluarga atau satu kelompok. Mereka banyak dan beragam, sangat rawan untuk bangkrut, memiliki keterbatasan, serta sangat tergantung kepada pembinaan semua pihak.

Bentuk ekonomi kerakyatan dapat saja berupa kegiatan usaha industri rumah tangga, agroindustri, perkoperasian, dan sebagainya. Di dalam proses kehidupannya selalu hidup seperti kerapak tumbuh di batu, oleh sebab itu perlu strategi baru untuk terus tumbuh dan berkembang. Pengembangan ekonomi kerakyatan tidak dapat dicapai hanya dengan strategi pertumbuhan ekonomi semata. Sebab terbukt bahwa dampak kebijakan yang hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi, justeru semakin memperlebar jurang kesenjangan, meliputi kesenjangan natural dan kultural. Oleh sebab itulah ekonomi kita bertumpu kepada Trilogi Pembangunan.

Upaya dalam pengembangan ekonomi kerakyatan, perlu diarahkan kepada untuk mendorong perubahan struktural (structural adjusment atau structural transformation), yaitu dengan cara memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.

Perubahan strktural tersebut meliputi proses perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi yang tangguh, dari ekonomi subsistem ke ekonomi pasar, dari ekonomi ketergantungan ke mandiri.

Untuk menuju kepada perubahan struktural itu, diperlukan upaya dasar yakni pengalokasian sumberdaya, penguatan kelembagaan, penguasaan teknologi, serta pemberdayaan sumberdaya insani. Langkah strategis yang diambil untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan tersebut antara lain :
  1. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi, dengan kata lain dana. Suntikan dana kepada usaha ekonomi rakyat sehingga dapat meningkatkan produksi, pendapatan, peluang kerja, serta sebagai invest modal secara berkesinambungan.
  2. Memperkuat posisi transaski dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, kemitraan dengan dunia usaha yang berskala besar sangat diperlukan. Ekonomi rakyat sebagai produsen dan penjual sangat lemah dari berbaga aspek, jumlahnya banyak dan pangsa pasar masing-masing kecil. Mereka kalah bersaing dengan kekuatan usaha besar, akibat persaingan yang tidak seimbang ini, kesinambungan kehidupan mereka akan bangkrut. Hal ini harus diperbaiki dengan cara perbaikan sarana dan prasarana, menciptakan kebersamaan antara usaha rakyat dengan usaha besar (pengusaha).
  3. Meningkatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan sumberdaya insani, sehingga mereka memiliki kepekaan di dalam melakukan SWOT Analysis. Selain itu dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengembangkan usahanya.
  4. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah kepada penguatan ekonomi rakyat yang terkait dengan industri besar. Artinya keterkaitan dua pohak harus saling menopang, sehingga terjadi mutual simbiosis.
  5. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri, dan sebagai cikal bakal munculnya wirausaha baru, yang berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah, bahkan menjadi wisarausaha bertaraf nasional dan internasional.
  6. Pemerataan pembangunan antardaerah, ekonomi kerakyatan tersebar di seluruh tanah air, tidak terkecuali di daerah kita ini.

Rabu, 23 Desember 2009

KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN


Petani adalah ujung tombak penjaga ketahanan pangan kita. Bila produktivitas dan pendapatan mereka meningkat, akan sangat signifikan konstribusinya kepada ketahanan pangan nasional. Mengapa? Pertama, jika produktivitas usaha tani meningkat, berarti suplai pangan nasional meningkat pula. Hal ini berarti meningkatkan tingkat ketersediaan pangan nasional.

Kedua, ketika hasil usaha tani mereka mampu memberikan pendapatan tinggi, berarti akses petani terhadap pangan meningkat. Kita tahu, sekitar 60% penduduk Indonesia ini adalah petani yang 89% di antaranya merupakan petani guram yang miskin. Naiknya pendapatan mereka berarti aspek keterjangkauan dalam ketahanan pangan nasional akan meningkat pula.

Setidaknya ada empat kendala yang dihadapi petani sehingga mereka mengalami kesulitan untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatannya (kemandirian ekonominya). Pertama, kendala struktural sumber daya lahan. Sebagian besar petani kita adalah petani lahan sempit. Teori ekonomi mengatakan ada ukuran skala ekonomi tertentu dari aktivitas produksi yang harus dipenuhi (economic of scale) agar suatu unit usaha bisa menguntungkan dan efisien. Jelas luas lahan yang sangat rendah tersebut adalah kendala struktural yang dihadapi petani kita untuk memperoleh pendapatan usaha tani yang bersifat insentif untuk berproduksi. Kendala kedua adalah masalah rendahnya akses terhadap input pertanian penting. Sedangkan kendala ketiga adalah minimnya akses terhadap dana dan modal. Dan, kendala keempat adalah banyaknya masalah pada pemasaran output mereka.

Strategi dan kebijakan untuk menjaga ketahanan pangan nasional sekaligus meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani adalah sebagai berikut (lihat Irawan, 2002a): Pertama, kebijakan yang berorientasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan (petani) sekaligus meningkatkan produksi pangan nasional. Kebijakan tersebut meliputi land reform policy. Land reform policy ini bertujuan agar para petani memiliki luas lahan yang memberikan keuntungan untuk dikelola sekaligus meningkatkan produktivitas usaha taninya. Dalam konteks Indonesia, kebijakan ini dapat direalisasikan dalam wujud pembangunan areal pertanian baru yang luas di luar Jawa untuk dibagikan kebada buruh-buruh tani (petani tanpa lahan), para petani guram (petani berlahan sempit), para peladang berpindah, dan perambah hutan yang diikuti dengan bimbingan budi daya pertanian secara modern serta mekanisasi pertanian berorientasi komersial (agrobisnis).

Dalam skala makro, pemerintah juga harus mendorong kebijakan harga yang fair. Dalam hal ini sangat penting adanya kebijakan harga dasar yang efektif dan penerapan tarif impor secara simultan. Tetapi, tidak cukup hanya itu. Hendaknya semua parasit ekonomi pertanian seperti penyelundup, tengkulak, pengijon, preman dosa, rentenir, elite desa dan kota, serta para birokrat yang terlibat dalam aktivitas langsung dan kebijakan di lapangan supaya dibersihkan, baik keberadaan maupun perilaku mereka. Sebab, kalau tidak, kenaikan harga pangan tidak akan dinikmati petani, tetapi oleh para parasit ekonomi tersebut.

Kebijakan berikutnya adalah peningkatan akses petani terhadap kredit dan perbaikan kualitas pelayanan kredit, menghilangkan lembaga pencari rente dan kelompok free rider, serta sebanyak mungkin memberikan dana berputar atau pinjaman lunak untuk perbaikan sarana penyimpanan, transportasi, dan pemasaran hasil pertanian. Sedangkan akses terhadap input produksi penting seperti pupuk dapat diwujudkan dengan tetap menerapkan kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan kedua adalah kebijakan yang berorientasi menjaga aspek keterjangkauan pangan yang meliputi pemetaan wilayah-wilayah yang potensial rawan pangan dan perbaikan akses serta ketersediaan logistik ke wilayah-wilayah tersebut. Juga sangat penting untuk menerapkan program perlindungan sosial berkala berupa program OPK (operasi pasar khusus) dan raskin (beras untuk rakyat miskin) sebagai sarana indirect income transfer untuk berkelompok-kelompok miskin kronis di pedesaan. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan perdaerah tingkat II tentang jumlah dan sebaran kelompok tersebut. Pemetaan ini penting agar program perlindungan sosial ini dapat tepat sasaran.

Kemudian juga harus dilakukan kebijaksanaan diversifikasi pangan. Kebijakan ini bertujuan membiasakan rakyat mengkonsumsi makanan sehari-hari dari berbagai jenis pangan. Dengan terwujudnya kebiasaan makan yang baru tersebut, ketergantungan terhadap salah satu komoditas pangan dapat direduksi. Di era desentralisasi ini, untuk mengaplikasi kebijakan ini pemerintah pusat perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar terwujud kebijakan penganekaragaman pangan nasional yang berbasis lokal. Alternatif kebijakan ini, antara lain, pertama, pengembangan resource untuk produksi beragam pangan lokal termasuk dukungan kebijakan harga, riset dan pengembangannya untuk memacu produktivitas komoditas lokal nonberas di daerah. Kedua, pemberdayaan masyarakat lokal dengan pembinaan kretivitas masyarakat dalam memproduksi, memanfaatkan, dan mengkonsumsi berbagai jenis pangan lokal. Ketiga, pengolahan dan penyediaan berbagai jenis bahan pangan dalam bentuk siap olah untuk masyarakat daerah.

Kebijakan ketiga adalah kebijakan yang berorientasi menjaga stabilitas ketahanan pangan antar waktu (musim). Kebijakan ini meliputi, pertama, impor yang selektif dengan impor pangan tertentu hanya diizinkan untuk daerah-daerah yang bukan kategori sentra produksi pangan tersebut dan tidak dilakukan dalam keadaan panen raya. Kedua, kebijakan yang bertujuan bagaimana melibatkan masyarakat dalam fungsi mekanisme penyeimbang logistik tradisional yang dikenal dengan nama lumbung desa. Hal ini penting mengingat di era mendatang kemampuan badan logistik nasional (Bulog) yang semakin berkurang sebagai penyeimbang logistik antarmusim. Lumbung desa adalah institusi stok pangan lokal yang dulu cukup efektif sebagai penyangga ketahanan pangan (buffer stock) masyarakat.

DIMENSI DAN KARAKTERISTIK PENDUDUK MISKIN


Sembilan dimensi kemiskinan, yaitu: 1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan perumahan), 2) aksesibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi), 3) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital, 4) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal, 5) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan sumber daya alam, 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, 7) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan, 8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental, dan 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan secara sosial.
 

Karakteristik penduduk miskin secara spesifik antara lain adalah (Pasaribu 2006): 1) sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60%), 2) sebagian besar  (60%) berpenghasilan rendah dan mengonsumsi energi kurang dari 2.100 kkal/hari, 3) berdasarkan indikator silang proporsi pengeluaran pangan (> 60%) dan kecukupan gizi (energi < 80%), proporsi rumah tangga rawan pangan nasional mencapai sekitar 30%, dan 4) penduduk miskin dengan tingkat sumber daya manusia yang rendah umumnya tinggal di wilayah marginal, dukungan infrastruktur terbatas, dan tingkat adopsi teknologi rendah.

KLIK IKLAN BERHADIAH DOLLAR