PARIWARA



Selasa, 20 Januari 2009

BEBERAPA FAKTOR KUNCI DALAM PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI


Pertama, pemahaman pengurus, anggota, dan aparatur pemerintah terutama departemen yang membidang masalah koperasi akan jati diri koperasi yang dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap pengertian koperasi, nilai-nilai koperasi, dan prinsip-prinsip gerakan koperasi.

Kedua, dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik.

Ketiga, kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.

Keempat, kegiatan usaha koperasi bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.

Kelima, adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga nonkoperasi.

PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN


Komunitas ekonomi rakyat sebagai salah satu sel penyusun tubuh ekonomi Negara, dan merupakan sumber kekuatan bagi perekonomian nasional secara keseluruhan. Pemberdayaan ekonomi rakyat perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan ekonomi rakyat (pengusaha kecil, menengah dan koperasi) dapat menjadi pelaku utama dalam perekonomian nasional.

Titik berat pemberdayaan ekonomi kerakyatan akan terletak pada upaya mempercepat pembangunan pedesaan sebagai tempat bermukim dan berusaha sebagian besar subyek dan obyek pembangunan bangsa ini, dimana mereka berusaha sebagai petani dan nelayan yang berpolakan subsisten. Pemberdayaan ekonomi rakyat yang dilakukan harus mampu mengatasi dan mengurangi kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pengusaha kecil, menengah, dan koperasi pada sektor industri pengolahan serta pedagang kecil di sektor perdagangan dan jasa.

Dengan demikian, perlu dikembangkan kemampuan profesionalisme pelaku usaha pada tiga sektor usaha kecil tersebut secara berkesinambungan, agar mampu mengelola dan mengembangkan usahanya secara berdaya guna dan berhasil guna, sehingga dapat mewujudkan peran utamanya dalam segala bidang yang mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan. Hal ini memungkinkan melalui upaya perbaikan dan pengembangan dalam pendidikan kewirausahaan dan manajemen usaha serta penataan system pendidikan nasional.

Pada sisi lain, diperlukan peningkatan produktivitas dan penguasaan pasar agar mampu menguasai, mengelola dan mengembangkan pasar dalam negeri melalui penyediaan sarana dan prasarana usaha yang menunjang kegitan produksi dan pemasaran; diperlukan pengembangan secara kelembagaan melalui program kemitraan usaha yang saling menguntungkan sehingga memiliki kemampuan dan daya saing pasar; mendorong pembentukan kelembagaan swadaya ekonomi rakyat seperti kelompok prakoperasi dan koperasi menjadi wahana peningkatan efisiensi, produktivitas dan daya saing pelaku usaha kecil, yang bukan hanya tinggal di pedesaan, tetapi juga tersebar dan termarginalisasi dalam kehidupan perkotaan.

Minggu, 11 Januari 2009

UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI


Upaya mewujudkan pembangunan pertanian (agribisnis) masa mendatang adalah sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala kritikal yang sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) selama ini belum disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang rasional sesuai skala usaha tani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu persoalan membangun kelembagaan (institution) di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya menyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm agribussinessnya.

Jika ditelaah, walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional, saat ini sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi petani di dalam mengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu:

· Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources), seperti keterbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana penunjang kegiatan produktif lainnya;
· Produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerative employment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi, keterampilan dan pengelolaan sumberdaya yang effisien;
· Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to services) sebagai akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya lembagalembaga sosial (social capital) dari bawah;
· Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang dihadapi dalam menciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan lingkungan.

Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bantuan teknis, juga pemilikan tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. Manfaat dari program-program pembangunan pertanian di perdesaan yang datang dari “atas” tampaknya hanya jatuh pada kelompok pemilik tanah, sebagai lapisan atas dari masyarakat desa. Sebagai contoh, program kredit dengan jaminan tanah serta bunga modal, subsidi paket teknologi produksi, bahkan kontrol terhadap distribusi pengairan dan pasar lokal juga dilakukan oleh kelompok ini. Di lain pihak, pelaksanaan perubahan seperti landreform, credit reform dan sebagainya yang memang secara substansial diperlukan sebagai suatu cara redistribusi asset masih merupakan isu yang kurang populer. Berbagai langkah terobosan sebagai suatu upaya kelembagaan guna memecahkan permasalahan di atas yang dikembangkan seperti pengembangan sistem usahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali belum memecahkan problem substansial yang oleh Boeke diungkapkan sebagai "dualisme".

Dalam pada itu, karakteristik perdesaan seringkali ditandai dengan pengangguran, produktifitas dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan kemiskinan. Masalah-masalah pengangguran, setengah pengangguran dan pengangguran terselubung menjadi gambaran umum dari perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama, terjadi pula produktifitas yang rendah dan kurangnya fasilitas pelayanan penunjang. Rendahnya produktifitas merupakan ciri khas di kawasan perdesaan. Pada umumnya, sebagian besar petani dan para pengelola industri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah. Investasi modal pada masa sebelum krisis lebih banyak diarahkan pada industri perkotaan daripada di sektor pertanian perdesaan. Sebagai konsekuensinya, perbedaan produktifitas antara petani perdesaan dengan pekerja industri perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini merupakan masalah yang banyak dibicarakan dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, pertanian dan bukan pertanian.

Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan informasi terutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang terdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinya pencemaran lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidak tertampung dan tanpa keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama karena terganggunya keseimbangan lingkungan dan sebagainya. Manfaat teknologipun seringkali masih dirasakan lebih banyak dinikmati pemilik aset sumberdaya (tanah) sehingga pada gilirannya justru menjadi penyebab utama dalam mempertajam perbedaan pendapatan dan mempercepat polarisasi dalam berbagai bentuk. Perasaan ketidak-amanan dan kekurang-adilan akibat berbagai kebijakan dan kebocoran (misalnya kasus impor illegal, dumping, pemalsuan dan ketiadaan saprotan, keracunan lingkungan, jatuhnya harga saat panen dan lainnya) seringkali menjadi pelengkap rasa tidak percaya diri (dan apatisme berlebihan) pada sebagian petani.

Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pertanian dan perdesaan seperti diuraikan disini, menunjukkan bahwa inti esensi dari proses pembangunan pertanian dan perdesaan adalah transformasi struktural masyarakat perdesaan dari kondisi perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaan berbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari struktur ekonomi perdesaan yang terkait erat dengan sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa nasional dan global.

Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak) diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan pengembangan agribisnis yang berorientasi ekonomi kerakyatan, keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim “kebersamaan” pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampu meningkatkan posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baik dalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi nilai (value) baru, semangat baru bagi petani untuk terutama dapat melonggarkan keterbatasanketerbatasannya, seperti akses terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan), peningkatan produktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan, serta meningkatkan rasa percaya diri akan lingkungan yang aman, adil dan transparan.

Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya bukanlah mudah dan sederhana. Sebagai suatu rules atau nilai dan semangat baru dalam pembangunan pertanian ke depan, seyogyanya mengandung berbagai ciri pokok dan mendasar. Pertama, upaya kelembagaan tersebut diharapkan menjadi pendorong terciptanya the same level playing field bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturan main” yang fair, transparent, demokratis dan adil. Kedua, upaya kelembagaan tersebut mampu mendorong peningkatan basis sumberdaya, produktivitas, efisiensi dan kelestarian bagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

KLIK IKLAN BERHADIAH DOLLAR